Berapakah jumlah pengguna media sosial di Indonesia saat
ini? Wearesosial Hootsuite menyebut angka 150 juta jiwa atau sebesar 56% dari
populasi penduduk Indonesia. Lewat riset yang dirilis pada Januari 2019
tersebut, ditemukan juga angka bahwa pengakses media sosial lewat ponsel
sebanyak 130 juta jiwa. Ini menandakan bahwa pengakses melalui ponsel jauh
lebih banyak ketimbang lewat laptop ataupun komputer.
Di tingkat dunia, jumlah pengguna media sosial Facebook di
Indonesia menempati urutan ketiga dan keempat untuk media sosial Instagram.
Dengan masing-masing pengguna aktif sebanyak 140 juta dan 56 juta. Sementara
untuk Twitter, Indonesia berada di urutan ke-12 dengan jumlah pengguna 6,6
juta.
Dari besarnya data ini menunjukkan bahwa media sosial kita
memiliki banyak sekali penghuni. Sebagaimana lazimnya sebuah kerumunan massa,
maka di situ akan muncul kegaduhan-kegaduhan. Dan benar adanya, kita bisa
menyaksikan kegaduhan-kegaduhan itu diproduksi setiap hari. Kalau kita membuka
Twitter, selalu muncul trending topicbaru
tiap harinya dengan tagar yang beragam, dari tema politik sampai hal-hal receh
urusan asmara.
Bulan Ramadan kali ini pun keriuhan itu tak pernah padam.
Penyebabnya, apa lagi kalau bukan Pilpres. Ini tampak berbeda dengan
Ramadan-Ramadan sebelumnya. Keriuhan pada Ramadan sebelumnya mungkin hanya soal
razia-razia warung dan semacamnya, tapi kali ini topiknya fokus pada soal
Pilpres ini. Tema-tema lain hanya sebagai selingan saja.
Bagi orang yang apolitis atau bosan dengan dunia politik
yang gaduh, mungkin mereka muak dengan pertengkaran-pertengkaran yang tak
usai-usai di media sosial. Tapi mereka tidak punya cara untuk mencegahnya. Pilihan
mereka, ya, bertahan atau menutup akun media sosialnya.
Tapi, bagaimana jika seandainya ada gerakan massal puasa
media sosial pada bulan Ramadan kali ini? Bisakah gerakan ini menyaingi gerakan
koin-koinan yang sudah banyak berhasil beberapa waktu silam? Andaikan berhasil,
ini akan menjadi gerakan yang cukup penting, terutama dalam lanskap politik
negeri ini.
Kita bayangkan separuh (75 juta) dari pengguna media sosial di
Indonesia tidak membuka akunnya selama satu bulan. Jika masing-masing akun
diasumsikan menghasilkan satu status atau cuitan politik tiap harinya, maka kita
bisa mengurangi kosa kata politik di media sosial sebanyak 2 miliar selama
sebulan. Itu angka yang besar sekali.
Tapi, tantangannya akan sangat berat. Media sosial sudah
menjadi rumah kedua bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Bahkan, skandal kebocoran
data Facebook beberapa waktu lalu yang membuat sebagian pengguna di Amerika
memilih menghapus akun Facebooknya, tidak banyak berdampak bagi pengguna di
Indonesia. Soal privasi tampaknya bukan hal penting bagi masyarakat kita.
Media sosial menurut sejumlah penelitian bisa menjadi candu.
Sebagai sebuah candu, maka orang merasa sulit untuk menghindarinya. Akan terasa
ada yang kurang jika dalam beberapa jam saja mereka tidak membuka media sosial.
Ketika mereka membukanya, jam-jam berputar terasa amat cepat. Tanpa terasa
tiba-tiba sudah satu jam, dua jam, tiga jam, di hadapan ponsel.
Aktivitas seperti ini akan kian sulit dihindari saat bulan
Ramadan. Ketika badan dalam keadaan lemas dan malas untuk beraktivitas, media
sosial akan menjadi mainan empuk untuk membunuh waktu. Dengan menekuri ponsel,
tiba-tiba kita sudah mendengar lantunan azan Maghrib tanda waktu berbuka puasa.
Lapar dan lemas menjadi tidak begitu terasa. Aktivitas itu berlanjut tiap hari,
menjadi kebiasaan yang sulit dihilangkan.
Pola komunikasi media sosial juga berbeda jauh dengan
komunikasi secara verbal. Di media sosial, untuk mencaci seseorang amatlah
mudah. Tinggal mengetik umpatan-umpatan yang paling mewakili kemarahan kita
atas status atau cuitan orang. Akan berbeda situasinya jika orang yang akan
kita umpat benar-benar ada di hadapan kita. Kita akan berpikir seribu kali
untuk melakukan tindakan tidak terpuji itu.
Pola komunikasi semcam itu yang membuat media sosial kita
menjadi ladang sampah kemarahan yang tidak berkesudahan. Masing-masing orang
merasa bebas berkata-kata kasar tanpa memandang perasaan orang yang diumpatnya.
Bahkan, terkadang umpatan-umpatan itu ditujukan kepada orang-orang yang secara
kedudukan sangat mulia. Hal itu terjadi umumnya karena
pandangan politik yang berbeda.
Kembali ke pembahasan awal, jika kita tidak bisa benar-benar
berhenti membuka akun media sosial, kita sebenarnyatetap bisa menjadi bagian
dari gerakan ini, yaitu dengan puasa status-status yang memancing pertengkaran.
Kita hindari membicarakan politik yang serba tidak menentu seperti sekarang
ini. Kita cegah jari-jari kita mengetikkan status, komentar, atau cuitan yang menyulut
amarah. Iktikad semacam itu sudah bisa mengurangi keriuhan yang terjadi di
media sosial. Kita bisa menyumbang damainya bulan Ramadan, bulan di mana
seharusnya setiap Muslim menghindari pertengkaran-pertengkaran.
Tulisan ini pernah dimuat di Radar Madura, Edisi 23 Mei 2019.
Tulisan ini pernah dimuat di Radar Madura, Edisi 23 Mei 2019.